Aku, Lentera, dan Nenek

Aku masih ingat dengan sebuah hari.
Tentang Aku, Lentera, dan Nenek.

Hampir setiap malam sebelum Aku tidur, Nenek selalu melakukan royong. Ia berbaring menghadapkan tubuhnya keatap rumah, sambil menepuk-nepuk punggung dan bokongku. Hal yang cukup ampuh untuk memudahkanku menuju alam baru, mimpi.

Namun malam itu tidak, sepertinya senjata Nenek agak tumpul untuk mengalahkanku, mengalahkan imajinasi seorang gadis kecil berumur tujuh tahun sepertiku. Mungkin hal itulah yang memotivasi Nenek untuk mendongeng.

Tapi dongeng yang Nenenk ceritakan malam itu berbeda. Aku pikir itu mengerikan. Bagaimana tidak? gadis polos yang semestinya disuguhi cerita tentang kancil, kisah seekor siput dan kelinci, atau mengenai singa si raja hutan. Justru ia menceritakan tentang perihnya peperangan zaman dahulu.

Tentang sebuah kematian. Kejamnya para penjajah yang katanya memiliki kulit yang jauh lebih terang daripadaku. Memenggal kepala, memotong tangan, mengiris-iris wajah dengan silet, lalu dimasukkan kelubang buaya. Sungguh itu menghancurkan imajinasi imutku.

Dongeng itu membuatku enggan untuk memejamkan mata, Aku berharap Nenek segera mengakhirinya dan menggantinya dengan yang lebih indah. Agar mimpiku tidak seburuk cerita Nenek.

Tak banya yang tahu, saat kusuguhkan ini pada kawanku, mereka tidak menanyakan satu hal, penerangan apa yang Nenek gunakan pada malam ia menarasikan ke-ngeri-an itu. Maka dengan senang hati kujawab, malam itu hanya ada Aku, Nenek, Lentera, dan Kesunyian.

Note :
Royong adalah sebuah kegiatan bernyanyi menggunakan bahasa Makassar, yang dilakukan oleh orang jaman dahulu agar cucu atau anak kecil dapat tidur dengan nyenyak.

Komentar